BAB IV
MEMPRODUKSI HASIL IKAN
KOMPETENSI
DASAR
KD 3.4 : Menerapkan Pengolahan Hasil Ikan
KD 4.4 :Memproduksi Hasil Ikan
TUJUAN PEMBELAJARAN
Peserta didik mampu : :
1. Memahami
Prinsip Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti
2. Menganalisis
kebutuhan sarana dan prasarana produksi produk perikanan dengan cermat dan
teliti sesuai kriteria
3. Menerapkan
teknik pengendalian mutu dalam produksi produk perikanan dengan cermat dan
teliti sesuai kriteria
4. Mengembangkan
Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti
5. Menerapkan
Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria
6. Melakukan
Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria
C. Uraian Materi
Ikan merupakan salah satu sumber protein yang baik,
karena memiliki daya bioafibilitas yang tinggi dibandingkan dengan produk
hewani lainnya. Ikan, selain dikenal
dengan kandungan protein yang memiliki komposisi asam amino lengkap, juga
diketahui mengandung polyunsaturated
fatty acids (PUFA) yang berkhasiat bagi kesehatan. Asam lemak tak jenuh
jamak yang banyak terdapat pada ikan adalah asam lemak omega-3, terutama
eikosapentanoat/EPA (C20:5, n-3) dan asam dokosaheksanoat/DHA (C22:6, n-3)
(Irianto, 1993). Karena alasan tersebut, ikan menjadi salah bahan pangan
pilihan untuk pemenuhan kebutuhan gizi akan protein. Ikan merupakan jenis
produk pangan yang mudah mengalami penurunan mutu dan kerusakan setelah proses
pasca panen, sehingga perlu adanya proses penanganan secara baik untuk
mempertahankan mutunya. Ikan akan mengalami proteolisis dengan cepat, sehingga
membuat kesegarannya menurun dan menjadi cepat rusak.
Komposisi kimia daging ikan secara umum terdiri
dari air 66-84 %, protein 15-24% , karbohidrat 1-3 %, lemak 0.1-2.2 % dan
substansi anorganik lainnya 0.8-2%
(Suzuki, 1981). Segera setelah ikan mati, mutu awal biokimia otot
cenderung mengalami perubahan yang sangat cepat akibat terhentinya pernapasan,
pecahnya molekulmolekul ATP, aksi otolisis dari enzim proteolytic yang terdapat
pada otot, oksidasi lemak, dan aktivitas metabolisme mikroorganisme. Otot ikan
mengandung beberapa protease termasuk catephsins,
trypsin, chymotrypsin, dan peptidase yang juga berpengaruh pada otot selama
penyimpanan setelah ikan mati. Perubahan-perubahan yang terjadi pada otot ikan
sebagai akibat dari reaksi tersebut
dapat memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan bakteri. Reaksi
otolisis dapat mendorong terinvasinya otot oleh organisme-organisme yang
terdapat di usus. Penanganan yang kasar dapat merusak struktur sel yang
menyebabkan terlepasnya enzim-enzim otolisis termasuk protease, yang
mempercepat pembusukan (Anonimous, 2008).
Lemak ikan juga rentan terhadap hydrolysis oleh lipase dengan
terbentuknya asam lemak bebas. Hydrolysis
lemak lebih sering terjadi pada ikan yang isi perutnya tidak dibersihkan
dibanding yang sudah dibersihkan, mungkin disebabkan oleh keterlibatan lipase
yang terdapat di dalam enzim-enzim pencernaan.
Phospholipase sel diketahui menghidrolisis lemak, khususnya,
phospholipids yang mengakibatkan meningkatnya oksidasi lemak yang
terhidrolisis..
Pembuatan Surimi
Surimi adalah jenis makanan tradisional Jepang.
Surimi merupakan salah satu jenis ingredient protein yang berasal dari ikan.
Surimi biasanya diproduksi dari ikan berdaging putih yang bernilai rendah dan
dihasilkan sebanyak 25-28% dari total berat badan keseluruhannya (Park et al. 1997). Menurut Lee (1984) surimi adalah daging ikan
yang sudah dibuang tulang dan kulitnya, dihaluskan, dicuci, ditambahkan
krioprotektan dan dibekukan. Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah
diekstraksi dengan air dan diberi bahan anti denaturasi lalu dibekukan. Selanjutnya dikatakan surimi merupakan bahan
setengah jadi yang digunakan untuk produk jadi (surimi-based products) seperti “kamaboko” dan sosis ikan. Tan et al (1987), menyatakan bahwa surimi
adalah hancuran daging ikan yang telah mengalami proses pencucian (leaching) dicampurkan dengan gula dan
polifosfat serta telah mengalami pembekukan.
Surimi adalah potongan ikan dimana semua protein
yang larut air dalam otot ikan sudah dihilangkan dan hanya tertinggal 15-16%
protein yang tidak larut air dengan kandungan air bahan sekitar 75% dan 8-9%
pestabil pada saat pembekuan. Protein yang tidak larut air ini bersifat elastis
sehingga memungkinkan untuk mengolah surimi lebih lanjut menjadi produk jadi seperti kue ikan, sosis,
bakso dan sebagainya. Adanya proses pembekuan pada saat penyimpanan surimi,
menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan elastisitas surimi yang dihasilkan
sehingga perlu ditambahkan penstabil
untuk menstabilkan kualitas surimi selama penyimpanannya. Surimi beku dapat
disimpan lebih dari satu tahun (Shaviklo, 2006).
Ciri-ciri surimi antara lain berwarna putih, tidak
amis, berupa pasta yang menggel dengan masa simpan beku yang lama karena adanya
penambahan krioprotektan (AFDF, 1987). Dikatakan pula komposisi surimi
kira-kira 76 % air, 16 % protein, 4% sukrosa, 3.5 % sorbitol, 0.3 % polifosfat,
0.2 % lemak dan 0.0038 % kalsium (AFDF, 1987). Ada dua jenis surimi yang biasa
diproduksi, yaitu surimi dengan penambahan garam (ka en surimi) dan surimi tanpa penambahan garam (mu en surimi) (Hermanianto, 2005). Dalam Suzuki (1981), disebutkan ada dua tipe
surimi beku yaitu: mu-en surimi,
dibuat dengan menggilingi hancuran daging ikan yang telah dicuci dan
dicampurkan dengan sukrosa dan polifosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan
telah mengalami pembekukan, dan Ka-en
surimi, dibuat dengan menggiling hancur daging ikan yang dicuci dan
dicampur sukrosa dan garam (NaCl) tanpa penambahan fosfat serta mengalami
proses pembekuan. Disamping surimi beku,
tipe yang lain disebut nama surimi (thaw surimi) yaitu surimi tidak
mengalami proses pembekuan.
Beberapa keuntungan penggunaan surimi antara lain
adalah: Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish jelly; tidak perlu menyiapkan
daging ikan setiap hari sehingga menghemat waktu dan biaya; Meningkatkan
efisiensi produksi; Lebih efektif dalam penyimpanan, distribusi dan
transportasi; memungkinkan dilakukannya persediaan (stock) bahan baku.
Prases Pembentukan Gel
Pada dasarnya produk seperti pasta ikan, fish cake,
bakso, fish burger dan sejenisnya dibuat berdasarkan sifat homogenitas gel
protein. Gel dapat terbentuk karena adanya aktin dan miosin yang banyak
terkandung di dalam daging ikan. Apabila daging ikan yang sedang dilumatkan
ditambahkan garam (NaCI) maka aktin dan miosin akan terekstrak keluar dalam
bentuk aktomiosin yang mempunyai rantai silang, karena garam mempunyai sifat
menarik aktin dan miosin serta cairan dari sel daging. Massa ini disebut
"sol" yang mempunyai sifat lengket dan adhesif. Apabila massa
"sol" ini dipanaskan maka akan terbentuk gel yang dapat memberikan
elastisitas.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan
gel pada pasta ikan dapat terjadi melalui proses pelumatan, penggaraman,
pembentukan, dan pemanasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel
adalah bahan baku, konsentrasi garam, derajat keasaman (pH), dan suhu.
Bahan baku
Jenis ikan yang berdaging putih dan jenis ikan
demersal secara umum adalah baik untuk dibuat surimi. Dalam perkembangannya,
surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai
kemampuan untuk membentuk gel (elastisitas), rasa, dan kenampakan yang baik.
Surimi juga dapat dibuat dari ikan-ikan non ekonomis atau dari spesies ikan
tropis yang merupakan hasil tangkapan samping (by catch) sehingga memberikan nilai tambah pada ikan tersebut.
Adanya perbedaan sifat dari setiap spesies ikan maka dimungkinkan untuk
mencampur beberapa jenis ikan untuk mendapatkan sifatsifat surimi yang baik.
Namun ikan berdaging merah dan ikan air tawar walaupun berdaging putih kurang
baik untuk dibuat surimi. Ikan yang digunakan harus mempunyai nilai kesegaran
yang tinggi karena kualitas surimi yang baik (elastisitas tinggi) hanya didapat
dari ikan yang segar, sehingga harus dihindari penggunaan ikan yang sudah
dibekukan.
Ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku adalah
ikan kurisi (Nemipterus spp), big eye snapper (Priacanthus spp), Barracuda (Sphypaeno
spp), croaker (Pennahia, Johnius spp). Ikan-ikan yang
ada di Indonesia dan baik sebagai bahan baku surimi diantaranya adalah
cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung (Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning (Caesio spp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis), ikan nila merah
(Oreochromis sp), ikan gabus (Ophiocepholus sp), dan ikan cucut (Carcharinidae sp).
Konsentrasi Garam
Jika tidak ada garam, maka aktomiosin yakni komponen
utama dari protein benang otot, akan mengalami hidrasi sedikit dan mengembang.
Bila sedikit sekali garam (0,2-0,3%) maka hidrasi akan menurun hingga tingkat
minimal. Kemudian dengan penambahan garam lebih lanjut, yang meningkatkan
hidrasi, memungkinkan pelarutan aktomiosin. Jadi peran garam pada proses
pembentukan gel adalah sebagai bahan pelarut protein myofibril. Pada
konsentrasi 2-3% akan menghasilkan daya kelenturan yang paling baik. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi maka myofibril akan terdehidrasi yang disebabkan
oleh terjadinya efek salting out dari garam. Selain itu garam juga berperan
terhadap rasa asin. Oleh karena itu jika kadar garam melebihi 3% maka akan
menjadi terlalu asin.
Derajat Keasaman (pH)
Hidrasi aktomiosin sangat tergantung pada pH.
Hidrasi berangsur-angsur akan menguat dengan aktomiosin melarut sepenuhnya pada
pH di atas 6,5. Jika terjadi pemanasan pada pH < 6 akan dihasilkan gel yang
rapuh dan kurang lentur (fragile)
sedangkan pada pH > 8 maka gel yang terbentuk tidak kompak. Jadi kisaran pH
optimum untuk menghasilkan gel yang baik adalah 6,5-7,5.
Suhu
Perubahan dari sol menjadi gel melarui tiga tahap
proses. Tahap pertama adalah pembentukan jaringan miosin yang disebut “suwari”
(setting/pembentukan) dan terjadi
pada suhu kurang dari 50 °C. Tahap kedua adalah degradasi gel yang disebut
“modori” (kembali ke bentuk semula) yang terjadi pada suhu sekitar 60-65 °C.
Tahap ketiga adalah “fiksasi” dari gel yang terjadi pada suhu lebih dari 80 °C.
Suwari (setting/pembentukan)
Suwari
(pembentukan) merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan dan
berubah menjadi gel yang elastis. Gel suwari terbentuk jika sol dipanaskan pada
suhu 40 °C selama 20 menit atau dibiarkan pada suhu ruang selama 2 jam atau
dibiarkan pada suhu dingin (10 °C) selama 1 malam.
Mekanisme proses pembentukan ini masih belum jelas,
tetapi kenyataannya bahwa untuk proses ini diperlukan garam dan bahwa jika
daging ikan lumat mentah membentuk gel akan menjadi lentur, maka diperkirakan
bahwa proses ini juga disebabkan oleh jaringan serba tiga aktomiosin. Protein
ini melarut sehingga menyebabkan serat-serat daging ikan itu bercampur
aduk. Kemudian pemanasan menyebabkan daging ikan membentuk jaringan tiga-tiga
yang strukturnya menyerupai bunga karang. Dalam pengentalan karena panas,
sebagian dari air terpisah yang bersama-sama dengan air yang terdapat dalam
jaringan tiga-tiga tersebut membantu memberikan kelenturan. Pada berbagai jenis
ikan yang karena perbedaan sifat-sifat aktomiosinnya, menyebabkan perbedaan
dalam proses pembentukan gel.
Modori (kembali ke bentuk
semula)
Modori
merupakan gejala degradasi gel, dimana bentuk gel hilang dan daging kembali
menjadi daging tidak lentur. Proses ini disebut modori yaitu kembali ke bentuk semula. Gejala modori terjadi pada suhu 60-65 °C. Seperti pada proses suwari,
mekanisme modori ini masih belum jelas. Salah satu teori menyebutkan bahwa
suatu protease yang mempunyai kegiatan yang tinggi dengan aktif memecah
aktomiosin pada suhu tersebut sementara ada teori lain menyatakan bahwa protein
sarkoplasma mencegah pembentukan adonan gel yang melengket pada aktomiosin pada
suhu sekitar itu. Oleh karena itu kisaran suhu tersebut harus dilewati agar gel
yang sudah terbentuk pada tahap suwari tidak rusak atau mengalami degradasi.
Gejala modori
ini tidak terjadi pada mamalia dan ayam tetapi hanya pada spesies ikan
tertentu. Sifat-sifat modori yang terjadi pada ikan bervariasi tergantung
kondisi biologi yaitu kesegaran, umur, lokasi penangkapan, dan musim.
Fiksasi gel
Tahap ini adalah untuk mendapatkan gel yang baik
yaitu kenyal tetapi mudah dikunyah - dalam bahasa Jepang disebut Ashi - yaitu
setelah melewati kedua daerah suhu tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut maka
untuk mendapatkan gel ashi dilakukan dengan metode pemanasan dua tahap (double step heating), yaitu tahap
pembentukan (setting) dilakukan pada
suhu 40 °C selama 20 menit atau pada suhu ruang selama 2 jam atau pada suhu
chilling selama 1 malam kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 90 °C
selama 20 menit. Pemasakan pada suhu 90 °C dilakukan dengan tujuan untuk
pemasakan dan sterilisasi dan juga untuk menghindari daerah suhu terjadinya
proses modori.
Secara ringkas prinsip dasar pengolahan produk fish jelly adalah penggilingan,
penggaraman, pencetakan, pembentukan (setting),
dan pemanasan.
1. Penggilingan
Bahan baku digiling menggunakan alat penggiling (grinder) dengan tujuan memecahkan
serabut otot agar dapat meningkatkan ekstraksi protein larut garam.
2. Penggaraman
Penambahan garam selama proses penggilingan bertujuan
untuk meningkatkan ekstraksi protein larut garam dan memberikan rasa asin pada
produk akhir. Banyak garam yang ditambahkan adalah 2–5 % tergantung selera
konsumen. Setelah penambahan garam, dapat ditambahkan bahan-bahan lain untuk
memberikan cita rasa.
Kemudian ditambahkan air untuk
memberikan tekstur yang lembut/halus.
3. Pencetakan
Setelah proses penggaraman, mulai terjadi reaksi
pembentukan yang ditandai dengan semakin mengerasnya tekstur. Proses ini
terjadi lebih cepat pada suhu ruang terutama di daerah tropis. Oleh karena itu
pasta tersebut sebaiknya dijaga tetap dalam kondisi dingin atau proses
pencetakan dilakukan sesegera mungkin
4. Pembentukan
(Setting)
Setelah selesai dicetak/dibentuk dilakukan proses
setting, yaitu pemanasan pada suhu 40 °C selama 20 menit atau pada suhu ruang
selama 2 jam atau pada suhu chilling selama 1 malam. Setting yang dilakukan pada proses pembuatan bakso/fish cake secara tradisional adalah
dengan merendam dalam air. Metode ini digunakan untuk produk-produk yang
cenderung berubah bentuknya jika dibiarkan di udara terbuka.
5. Pemanasan
Pemanasan bertujuan untuk memasak dan sterilisasi
produk. Pemanasan dilakukan dalam air bersuhu 90 °C agar didapatkan produk
dengan permukaan yang halus/lembut. Pemanasan dengan air mendidih menyebabkan
terjadinya penguapan air dari produk sehingga menghasilkan tekstur yang kasar.
Pemanasan dilakukan sampai suhu pusat produk mencapai 80 °C. Waktu pemanasan
sebaiknya agak lama agar dapat menghancurkan bakteri yang ada. Sebagai contoh
bakso dipanaskan pada suhu 90°C selama
20 menit
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan antara lain: pisau, meat grinder, timbangan, stuffer dan freezer. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah daging ikan,
es batu, sukrosa, sorbitol, sodium polifosfat, natrium bikarbonat, natrium
klorida, kain saring dan kantong plastik.
Pembuatan Surimi
Persiapan pembuatan surimi dilakukan secara
konvensional, ikan pertama dibuat menjadi filet, kemudian dicuci dengan air
dingin (4°C) (Chaijan et al. 2004).
Daging ikan dihaluskan dengan menggunakan food
processor, kemudian ditambahkan air dengan perbandingan air : filet ikan
adalah 3:1 (v/w). Campuran tersebut kemudian diaduk selama 10 menit pada suhu
kamar dan daging ikan yang sudah dicuci kemudian disaring dengan lapisan nilon.
Pencucian dilakukan selama tiga kali. Pencucian pertama dilakukan dengan penambahan
NaHCO3 0.5 %, pencucian kedua dengan menggunakan air biasa, dan
pencucian ketiga dengan penambahan NaCl 0.1-0.5% (Hermanianto 2005). Setelah
pencucian ketiga, daging ikan kemudian diperas menggunakan kain saring untuk
mengurangi kadar airnya. Hasilnya lalu ditambahkan 4% sukrosa, 4% sorbitol dan
0.2-0.3% natrium polifosfat kemudian dicampurkan dan disimpan dalam freezer
(Hermanianto 2005).
Sifat fisikokimia surimi (Shaviklo 2006)
a. Stabilitas
Beku-Cair (Freeze Thaw-Stability)
Sampel surimi yang sudah dikemas dalam plastik
polietilen kemudian dibekukan. Setelah beku, sampel tersebut dikeluarkan dan
ditimbang. Setelah ditimbang, sampel beku tersebut kemudian di-thawing hingga suhu sampel meningkat
menjadi suhu ruang. Setelah itu, sampel tersebut ditimbang kembali.
bobot beku (g) – Bobot kering (g)
Bobot beku (g)
b. pH
Sebanyak 90 ml air destilata ditambahkan ke dalam
10 g sampel dan dicampurkan. Larutan tersebut kemudian diukur pH nya
menggunakan pH meter.
c. Materi objek
Sebanyak 10 g sampel ditipiskan hingga 1 mm atau
kurang, kemudian materi lain yang terlihat dengan ketebalan > 2 mm
dicatat.
d. Penentuan kekuatan gel
Analisis ini dilakukan 24-48 jam setelah surimi
dibuat dan setelah terbentuk keseimbangan suhu antara produk surimi dan suhu
ruang. Sampel surimi dipotong-potong dengan panjang 15-25 mm, kemudian diukur
menggunakan texture analyzer dengan
kecepatan tekanan sebesar 60 mm/menit.
Untuk persiapan pembuatan gel, surimi yang sudah
dibekukan kemudian di-thawing selama
3-4 jam hingga suhu pertengahannya menjadi 0°C. Sampel tersebut kemudian
dipotongpotong dan kelembabannya diatur hingga 80% dengan menambahkan air es.
Sampel kemudian ditambahkan dengan 2.5-3% (w/w) NaCl dan diputar selama 5 menit
pada suhu ruang hingga membentuk sol yang homogen. Sol tersebut kemudian
dikemas dalam casing polivinilidin lalu diinkubasi selama 30 menit diikuti
dengan pemanasan pada suhu 90°C selama 20 menit (Chaijan et al. 2010).
e. Derajat putih
Sampel disimpan dalam lempeng dan ditipiskan hingga
ketebalan 15 mm. Sampel kemudian dianalisis dengan menggunakan instrumen Colour-Difference Instrument dengan
mengukur nilai L* (Lightness), a* (red-green colour) dan b* (yellow-blue
colours).
Derajat putih = 100 – [(100 – L*)2
+ a*2 + b*2]1/2
f. Daya ikat air
Penentuan daya ikat air dapat diukur dengan
penentuan air bebas yang dikeluarkan (Hamm, 1974 dalam Yanis, 2006). Sampel
sebanyak 0.3 gram diletakkan diantara dua kertas saring Whatman kemudian ditekan dengan beban seberat 35 kg selama 5 menit.
Makin tinggi jumlah air bebas yang dikeluarkan maka
WHC (Water Holding Capacity) makin
rendah dan semakin rendah jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC semakin
tinggi. Daerah yang tertutup sampel daging yang telah menjadi rata serta luas
daerah basah disekitarnya diberi tanda dan diukur menggunakan planimeter. Daerah basah diperoleh
dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel dari total (basah ditambah
sampel) dan luas daerah yang tertutup sampel dengan menggunakan rumus:
mg H2O = Daerah
basah (cm2) - 8.0
0.0948
g. Uji lipat (folding test)
Campuran surimi (fish
mince) yang sudah disiapkan diberi NaCl sesuai perlakuan A, dan dilakukan
pencampuran selama 15 menit. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing) dan dimasak dalam waterbath dengan variasi suhu sesuai
perlakuan B dan didinginkan. Setelah dingin, surimi matang diiris setebal 3 mm
dan dilakukan pelipatan menjadi kuadran, nilai tertinggi (6) sedangkan nilai
terendah (1) diberikan kepada surimi yang secara langsung mengalami patahan
pada saat diberi tekanan (AFDF, 1987).
Keterangan: standar uji lipat untuk surimi masak.
Lembaran tipis 3 mm surimi untuk pengujian yang baik pada saat dilipat: 1)
berbentuk retakan dengan pemberian tekanan apa saja; 2) segera retak ketika
melipat seluruhnya; 3) retakan dengan lipatan pada sudut 90o; 4)
perlahan-lahan retak ketika setengah melingkar; 5) melingkar setengah dengan
mudah; 6) melingkar membentuk kuadran dengan mudah.