Selasa, 24 Maret 2020

PPHH KELAS XI ( MEMPRODUKSI HASIL IKAN )


             
BAB IV
MEMPRODUKSI HASIL IKAN


KOMPETENSI DASAR

KD 3.4 : Menerapkan Pengolahan Hasil Ikan
KD 4.4 :Memproduksi Hasil Ikan

TUJUAN PEMBELAJARAN
Peserta didik mampu : :
1. Memahami Prinsip Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti
2. Menganalisis kebutuhan sarana dan prasarana produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria
3. Menerapkan teknik pengendalian mutu dalam produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria
4. Mengembangkan Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti 
5. Menerapkan Teknik Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria
6. Melakukan Produksi produk perikanan dengan cermat dan teliti sesuai kriteria

C. Uraian Materi

Ikan merupakan salah satu sumber protein yang baik, karena memiliki daya bioafibilitas yang tinggi dibandingkan dengan produk hewani lainnya.  Ikan, selain dikenal dengan kandungan protein yang memiliki komposisi asam amino lengkap, juga diketahui mengandung polyunsaturated fatty acids (PUFA) yang berkhasiat bagi kesehatan. Asam lemak tak jenuh jamak yang banyak terdapat pada ikan adalah asam lemak omega-3, terutama eikosapentanoat/EPA (C20:5, n-3) dan asam dokosaheksanoat/DHA (C22:6, n-3) (Irianto, 1993). Karena alasan tersebut, ikan menjadi salah bahan pangan pilihan untuk pemenuhan kebutuhan gizi akan protein. Ikan merupakan jenis produk pangan yang mudah mengalami penurunan mutu dan kerusakan setelah proses pasca panen, sehingga perlu adanya proses penanganan secara baik untuk mempertahankan mutunya. Ikan akan mengalami proteolisis dengan cepat, sehingga membuat kesegarannya menurun dan menjadi cepat rusak. 
Komposisi kimia daging ikan secara umum terdiri dari air 66-84 %, protein 15-24% , karbohidrat 1-3 %, lemak 0.1-2.2 % dan substansi anorganik lainnya 0.8-2%  (Suzuki, 1981). Segera setelah ikan mati, mutu awal biokimia otot cenderung mengalami perubahan yang sangat cepat akibat terhentinya pernapasan, pecahnya molekulmolekul ATP, aksi otolisis dari enzim proteolytic yang terdapat pada otot, oksidasi lemak, dan aktivitas metabolisme mikroorganisme. Otot ikan mengandung beberapa protease termasuk catephsins, trypsin, chymotrypsin, dan peptidase yang juga berpengaruh pada otot selama penyimpanan setelah ikan mati. Perubahan-perubahan yang terjadi pada otot ikan sebagai akibat dari reaksi  tersebut dapat memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan bakteri. Reaksi otolisis dapat mendorong terinvasinya otot oleh organisme-organisme yang terdapat di usus. Penanganan yang kasar dapat merusak struktur sel yang menyebabkan terlepasnya enzim-enzim otolisis termasuk protease, yang mempercepat pembusukan (Anonimous, 2008).
Lemak ikan juga rentan terhadap hydrolysis oleh lipase dengan terbentuknya asam lemak bebas. Hydrolysis lemak lebih sering terjadi pada ikan yang isi perutnya tidak dibersihkan dibanding yang sudah dibersihkan, mungkin disebabkan oleh keterlibatan lipase yang terdapat di dalam enzim-enzim pencernaan.  Phospholipase sel diketahui menghidrolisis lemak, khususnya, phospholipids yang mengakibatkan meningkatnya oksidasi lemak yang terhidrolisis..
Pembuatan Surimi
Surimi adalah jenis makanan tradisional Jepang. Surimi merupakan salah satu jenis ingredient protein yang berasal dari ikan. Surimi biasanya diproduksi dari ikan berdaging putih yang bernilai rendah dan dihasilkan sebanyak 25-28% dari total berat badan keseluruhannya (Park et al. 1997).  Menurut Lee (1984) surimi adalah daging ikan yang sudah dibuang tulang dan kulitnya, dihaluskan, dicuci, ditambahkan krioprotektan dan dibekukan. Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air dan diberi bahan anti denaturasi lalu dibekukan.  Selanjutnya dikatakan surimi merupakan bahan setengah jadi yang digunakan untuk produk jadi (surimi-based products) seperti “kamaboko” dan sosis ikan. Tan et al (1987), menyatakan bahwa surimi adalah hancuran daging ikan yang telah mengalami proses pencucian (leaching) dicampurkan dengan gula dan polifosfat serta telah mengalami pembekukan.
Surimi adalah potongan ikan dimana semua protein yang larut air dalam otot ikan sudah dihilangkan dan hanya tertinggal 15-16% protein yang tidak larut air dengan kandungan air bahan sekitar 75% dan 8-9% pestabil pada saat pembekuan. Protein yang tidak larut air ini bersifat elastis sehingga memungkinkan untuk mengolah surimi lebih lanjut  menjadi produk jadi seperti kue ikan, sosis, bakso dan sebagainya. Adanya proses pembekuan pada saat penyimpanan surimi, menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan elastisitas surimi yang dihasilkan sehingga perlu  ditambahkan penstabil untuk menstabilkan kualitas surimi selama penyimpanannya. Surimi beku dapat disimpan lebih dari satu tahun (Shaviklo, 2006).
Ciri-ciri surimi antara lain berwarna putih, tidak amis, berupa pasta yang menggel dengan masa simpan beku yang lama karena adanya penambahan krioprotektan (AFDF, 1987). Dikatakan pula komposisi surimi kira-kira 76 % air, 16 % protein, 4% sukrosa, 3.5 % sorbitol, 0.3 % polifosfat, 0.2 % lemak dan 0.0038 % kalsium (AFDF, 1987). Ada dua jenis surimi yang biasa diproduksi, yaitu surimi dengan penambahan garam (ka en surimi) dan surimi tanpa penambahan garam (mu en surimi) (Hermanianto, 2005).  Dalam Suzuki (1981), disebutkan ada dua tipe surimi beku yaitu: mu-en surimi, dibuat dengan menggilingi hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampurkan dengan sukrosa dan polifosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan telah mengalami pembekukan, dan Ka-en surimi, dibuat dengan menggiling hancur daging ikan yang dicuci dan dicampur sukrosa dan garam (NaCl) tanpa penambahan fosfat serta mengalami proses pembekuan.  Disamping surimi beku, tipe yang lain disebut nama surimi (thaw surimi) yaitu surimi tidak mengalami proses pembekuan.
Beberapa keuntungan penggunaan surimi antara lain adalah: Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish jelly; tidak perlu menyiapkan daging ikan setiap hari sehingga menghemat waktu dan biaya; Meningkatkan efisiensi produksi; Lebih efektif dalam penyimpanan, distribusi dan transportasi; memungkinkan dilakukannya persediaan (stock) bahan baku.

Prases Pembentukan Gel

Pada dasarnya produk seperti pasta ikan, fish cake, bakso, fish burger dan sejenisnya dibuat berdasarkan sifat homogenitas gel protein. Gel dapat terbentuk karena adanya aktin dan miosin yang banyak terkandung di dalam daging ikan. Apabila daging ikan yang sedang dilumatkan ditambahkan garam (NaCI) maka aktin dan miosin akan terekstrak keluar dalam bentuk aktomiosin yang mempunyai rantai silang, karena garam mempunyai sifat menarik aktin dan miosin serta cairan dari sel daging. Massa ini disebut "sol" yang mempunyai sifat lengket dan adhesif. Apabila massa "sol" ini dipanaskan maka akan terbentuk gel yang dapat memberikan elastisitas.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan gel pada pasta ikan dapat terjadi melalui proses pelumatan, penggaraman, pembentukan, dan pemanasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah bahan baku, konsentrasi garam, derajat keasaman (pH), dan suhu.

Bahan baku

Jenis ikan yang berdaging putih dan jenis ikan demersal secara umum adalah baik untuk dibuat surimi. Dalam perkembangannya, surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan, asalkan ikan tersebut mempunyai kemampuan untuk membentuk gel (elastisitas), rasa, dan kenampakan yang baik. Surimi juga dapat dibuat dari ikan-ikan non ekonomis atau dari spesies ikan tropis yang merupakan hasil tangkapan samping (by catch) sehingga memberikan nilai tambah pada ikan tersebut. Adanya perbedaan sifat dari setiap spesies ikan maka dimungkinkan untuk mencampur beberapa jenis ikan untuk mendapatkan sifatsifat surimi yang baik. Namun ikan berdaging merah dan ikan air tawar walaupun berdaging putih kurang baik untuk dibuat surimi. Ikan yang digunakan harus mempunyai nilai kesegaran yang tinggi karena kualitas surimi yang baik (elastisitas tinggi) hanya didapat dari ikan yang segar, sehingga harus dihindari penggunaan ikan yang sudah dibekukan.
Ikan yang biasa digunakan sebagai bahan baku adalah ikan kurisi (Nemipterus spp), big eye snapper (Priacanthus spp), Barracuda (Sphypaeno spp), croaker (Pennahia, Johnius spp). Ikan-ikan yang ada di Indonesia dan baik sebagai bahan baku surimi diantaranya adalah cunang-cunang (Congresox talabon), ikan manyung (Arius thalassinus), ikan pisang-pisang (Caesio chrysozonus), ikan ekor kuning (Caesio spp), ikan gulamah (Pseudociena amoyensis), ikan nila merah (Oreochromis sp), ikan gabus (Ophiocepholus sp), dan ikan cucut (Carcharinidae sp).

Konsentrasi Garam

Jika tidak ada garam, maka aktomiosin yakni komponen utama dari protein benang otot, akan mengalami hidrasi sedikit dan mengembang. Bila sedikit sekali garam (0,2-0,3%) maka hidrasi akan menurun hingga tingkat minimal. Kemudian dengan penambahan garam lebih lanjut, yang meningkatkan hidrasi, memungkinkan pelarutan aktomiosin. Jadi peran garam pada proses pembentukan gel adalah sebagai bahan pelarut protein myofibril. Pada konsentrasi 2-3% akan menghasilkan daya kelenturan yang paling baik. Pada konsentrasi yang lebih tinggi maka myofibril akan terdehidrasi yang disebabkan oleh terjadinya efek salting out dari garam. Selain itu garam juga berperan terhadap rasa asin. Oleh karena itu jika kadar garam melebihi 3% maka akan menjadi terlalu asin.

Derajat Keasaman (pH)

Hidrasi aktomiosin sangat tergantung pada pH. Hidrasi berangsur-angsur akan menguat dengan aktomiosin melarut sepenuhnya pada pH di atas 6,5. Jika terjadi pemanasan pada pH < 6 akan dihasilkan gel yang rapuh dan kurang lentur (fragile) sedangkan pada pH > 8 maka gel yang terbentuk tidak kompak. Jadi kisaran pH optimum untuk menghasilkan gel yang baik adalah 6,5-7,5.

Suhu

Perubahan dari sol menjadi gel melarui tiga tahap proses. Tahap pertama adalah pembentukan jaringan miosin yang disebut “suwari” (setting/pembentukan) dan terjadi pada suhu kurang dari 50 °C. Tahap kedua adalah degradasi gel yang disebut “modori” (kembali ke bentuk semula) yang terjadi pada suhu sekitar 60-65 °C. Tahap ketiga adalah “fiksasi” dari gel yang terjadi pada suhu lebih dari 80 °C.

Suwari (setting/pembentukan)

Suwari (pembentukan) merupakan gejala dimana sol yang terbentuk secara perlahan dan berubah menjadi gel yang elastis. Gel suwari terbentuk jika sol dipanaskan pada suhu 40 °C selama 20 menit atau dibiarkan pada suhu ruang selama 2 jam atau dibiarkan pada suhu dingin (10 °C) selama 1 malam.
Mekanisme proses pembentukan ini masih belum jelas, tetapi kenyataannya bahwa untuk proses ini diperlukan garam dan bahwa jika daging ikan lumat mentah membentuk gel akan menjadi lentur, maka diperkirakan bahwa proses ini juga disebabkan oleh jaringan serba tiga aktomiosin. Protein ini melarut sehingga menyebabkan serat-serat daging ikan itu bercampur aduk. Kemudian pemanasan menyebabkan daging ikan membentuk jaringan tiga-tiga yang strukturnya menyerupai bunga karang. Dalam pengentalan karena panas, sebagian dari air terpisah yang bersama-sama dengan air yang terdapat dalam jaringan tiga-tiga tersebut membantu memberikan kelenturan. Pada berbagai jenis ikan yang karena perbedaan sifat-sifat aktomiosinnya, menyebabkan perbedaan dalam proses pembentukan gel.

Modori (kembali ke bentuk semula)

Modori merupakan gejala degradasi gel, dimana bentuk gel hilang dan daging kembali menjadi daging tidak lentur. Proses ini disebut modori yaitu kembali ke bentuk semula. Gejala modori terjadi pada suhu 60-65 °C. Seperti pada proses suwari, mekanisme modori ini masih belum jelas. Salah satu teori menyebutkan bahwa suatu protease yang mempunyai kegiatan yang tinggi dengan aktif memecah aktomiosin pada suhu tersebut sementara ada teori lain menyatakan bahwa protein sarkoplasma mencegah pembentukan adonan gel yang melengket pada aktomiosin pada suhu sekitar itu. Oleh karena itu kisaran suhu tersebut harus dilewati agar gel yang sudah terbentuk pada tahap suwari tidak rusak atau mengalami degradasi.
Gejala modori ini tidak terjadi pada mamalia dan ayam tetapi hanya pada spesies ikan tertentu. Sifat-sifat modori yang terjadi pada ikan bervariasi tergantung kondisi biologi yaitu kesegaran, umur, lokasi penangkapan, dan musim.

Fiksasi gel

Tahap ini adalah untuk mendapatkan gel yang baik yaitu kenyal tetapi mudah dikunyah - dalam bahasa Jepang disebut Ashi - yaitu setelah melewati kedua daerah suhu tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut maka untuk mendapatkan gel ashi dilakukan dengan metode pemanasan dua tahap (double step heating), yaitu tahap pembentukan (setting) dilakukan pada suhu 40 °C selama 20 menit atau pada suhu ruang selama 2 jam atau pada suhu chilling selama 1 malam kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 90 °C selama 20 menit. Pemasakan pada suhu 90 °C dilakukan dengan tujuan untuk pemasakan dan sterilisasi dan juga untuk menghindari daerah suhu terjadinya proses modori.
Secara ringkas prinsip dasar pengolahan produk fish jelly adalah penggilingan, penggaraman, pencetakan, pembentukan (setting), dan pemanasan.
1.   Penggilingan
Bahan baku digiling menggunakan alat penggiling (grinder) dengan tujuan memecahkan serabut otot agar dapat meningkatkan ekstraksi protein larut garam.
2.   Penggaraman
Penambahan garam selama proses penggilingan bertujuan untuk meningkatkan ekstraksi protein larut garam dan memberikan rasa asin pada produk akhir. Banyak garam yang ditambahkan adalah 2–5 % tergantung selera konsumen. Setelah penambahan garam, dapat ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan cita rasa.
Kemudian ditambahkan air untuk memberikan tekstur yang lembut/halus.
3.   Pencetakan
Setelah proses penggaraman, mulai terjadi reaksi pembentukan yang ditandai dengan semakin mengerasnya tekstur. Proses ini terjadi lebih cepat pada suhu ruang terutama di daerah tropis. Oleh karena itu pasta tersebut sebaiknya dijaga tetap dalam kondisi dingin atau proses pencetakan dilakukan sesegera mungkin
4.   Pembentukan (Setting)
Setelah selesai dicetak/dibentuk dilakukan proses setting, yaitu pemanasan pada suhu 40 °C selama 20 menit atau pada suhu ruang selama 2 jam atau pada suhu chilling selama 1 malam. Setting yang dilakukan pada proses pembuatan bakso/fish cake secara tradisional adalah dengan merendam dalam air. Metode ini digunakan untuk produk-produk yang cenderung berubah bentuknya jika dibiarkan di udara terbuka.
5.   Pemanasan
Pemanasan bertujuan untuk memasak dan sterilisasi produk. Pemanasan dilakukan dalam air bersuhu 90 °C agar didapatkan produk dengan permukaan yang halus/lembut. Pemanasan dengan air mendidih menyebabkan terjadinya penguapan air dari produk sehingga menghasilkan tekstur yang kasar. Pemanasan dilakukan sampai suhu pusat produk mencapai 80 °C. Waktu pemanasan sebaiknya agak lama agar dapat menghancurkan bakteri yang ada. Sebagai contoh bakso dipanaskan pada  suhu 90°C selama 20 menit


Alat dan bahan 

Alat-alat yang digunakan antara lain: pisau, meat grinder, timbangan, stuffer dan freezer. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah daging ikan, es batu, sukrosa, sorbitol, sodium polifosfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, kain saring dan kantong plastik.

Pembuatan Surimi

Persiapan pembuatan surimi dilakukan secara konvensional, ikan pertama dibuat menjadi filet, kemudian dicuci dengan air dingin (4°C) (Chaijan et al. 2004). Daging ikan dihaluskan dengan menggunakan food processor, kemudian ditambahkan air dengan perbandingan air : filet ikan adalah 3:1 (v/w). Campuran tersebut kemudian diaduk selama 10 menit pada suhu kamar dan daging ikan yang sudah dicuci kemudian disaring dengan lapisan nilon. Pencucian dilakukan selama tiga kali. Pencucian pertama dilakukan dengan penambahan NaHCO3 0.5 %, pencucian kedua dengan menggunakan air biasa, dan pencucian ketiga dengan penambahan NaCl 0.1-0.5% (Hermanianto 2005). Setelah pencucian ketiga, daging ikan kemudian diperas menggunakan kain saring untuk mengurangi kadar airnya. Hasilnya lalu ditambahkan 4% sukrosa, 4% sorbitol dan 0.2-0.3% natrium polifosfat kemudian dicampurkan dan disimpan dalam freezer (Hermanianto 2005). 

Sifat fisikokimia surimi (Shaviklo 2006)

a. Stabilitas Beku-Cair (Freeze Thaw-Stability)  

Sampel surimi yang sudah dikemas dalam plastik polietilen kemudian dibekukan. Setelah beku, sampel tersebut dikeluarkan dan ditimbang. Setelah ditimbang, sampel beku tersebut kemudian di-thawing hingga suhu sampel meningkat menjadi suhu ruang. Setelah itu, sampel tersebut ditimbang kembali. 
bobot beku (g) – Bobot kering (g)
        Kelembaban (%) =                                                                   x  100%
Bobot beku (g)

 b. pH

Sebanyak 90 ml air destilata ditambahkan ke dalam 10 g sampel dan dicampurkan. Larutan tersebut kemudian diukur pH nya menggunakan pH meter.
c. Materi objek
Sebanyak 10 g sampel ditipiskan hingga 1 mm atau kurang, kemudian materi lain yang terlihat dengan ketebalan > 2 mm dicatat. 
d. Penentuan kekuatan gel
Analisis ini dilakukan 24-48 jam setelah surimi dibuat dan setelah terbentuk keseimbangan suhu antara produk surimi dan suhu ruang. Sampel surimi dipotong-potong dengan panjang 15-25 mm, kemudian diukur menggunakan texture analyzer dengan kecepatan tekanan sebesar 60 mm/menit.
Untuk persiapan pembuatan gel, surimi yang sudah dibekukan kemudian di-thawing selama 3-4 jam hingga suhu pertengahannya menjadi 0°C. Sampel tersebut kemudian dipotongpotong dan kelembabannya diatur hingga 80% dengan menambahkan air es. Sampel kemudian ditambahkan dengan 2.5-3% (w/w) NaCl dan diputar selama 5 menit pada suhu ruang hingga membentuk sol yang homogen. Sol tersebut kemudian dikemas dalam casing polivinilidin lalu diinkubasi selama 30 menit diikuti dengan pemanasan pada suhu 90°C selama 20 menit (Chaijan et al. 2010).

e. Derajat putih

Sampel disimpan dalam lempeng dan ditipiskan hingga ketebalan 15 mm. Sampel kemudian dianalisis dengan menggunakan instrumen Colour-Difference Instrument dengan mengukur nilai L* (Lightness), a* (red-green colour) dan b* (yellow-blue colours).
Derajat putih = 100 – [(100 – L*)2 + a*2 + b*2]1/2

f. Daya ikat air

Penentuan daya ikat air dapat diukur dengan penentuan air bebas yang dikeluarkan (Hamm, 1974 dalam Yanis, 2006). Sampel sebanyak 0.3 gram diletakkan diantara dua kertas saring Whatman kemudian ditekan dengan beban seberat 35 kg selama 5 menit.
Makin tinggi jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC (Water Holding Capacity) makin rendah dan semakin rendah jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC semakin tinggi. Daerah yang tertutup sampel daging yang telah menjadi rata serta luas daerah basah disekitarnya diberi tanda dan diukur menggunakan planimeter. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel dari total (basah ditambah sampel) dan luas daerah yang tertutup sampel dengan menggunakan rumus:
mg H2O = Daerah basah (cm2)  - 8.0
0.0948

g. Uji lipat (folding test)

Campuran surimi (fish mince) yang sudah disiapkan diberi NaCl sesuai perlakuan A, dan dilakukan pencampuran selama 15 menit. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing) dan dimasak dalam waterbath dengan variasi suhu sesuai perlakuan B dan didinginkan. Setelah dingin, surimi matang diiris setebal 3 mm dan dilakukan pelipatan menjadi kuadran, nilai tertinggi (6) sedangkan nilai terendah (1) diberikan kepada surimi yang secara langsung mengalami patahan pada saat diberi tekanan (AFDF, 1987).
Keterangan: standar uji lipat untuk surimi masak. Lembaran tipis 3 mm surimi untuk pengujian yang baik pada saat dilipat: 1) berbentuk retakan dengan pemberian tekanan apa saja; 2) segera retak ketika melipat seluruhnya; 3) retakan dengan lipatan pada sudut 90o; 4) perlahan-lahan retak ketika setengah melingkar; 5) melingkar setengah dengan mudah; 6) melingkar membentuk kuadran dengan mudah.
             


SUSULAN PAS GANJIL 2020/2021 KELAS X SELASA 15 DESEMBER 2020

  KERJAKAN SOAL SUSULAN PAS SESUAI DENGAN MATA PELAJARAN BELUM KALIAN IKUTI, JANGAN MEMAKAI UCBROWSER JIKA MENGERJAKAN PAS, KARENA NILAI TID...