KELAS DARING
KELAS X SEMESTER GENAP 2019/2020
SMK NEGERI 2 BAGOR
Nama Kelas :
X ATPH 3, X ATPH 1
Nama Guru :
Pipit Puspitarini
Judul Materi :
Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam
Bacalah dengan seksama artikel berikut ini!
PELABELAN PKI, STIGMATISASI PALING KEJAM
Ada banyak
pelabelan di negeri ini. Tapi, label PKI paling kejam.
Oleh M.F.
Mukthi
gambar
1.
DARI sekian banyak
stigmatisasi di Indonesia, pelabelan PKI merupakan pelabelan paling kejam. Hal
ini memiliki efek negatif yang jauh kedalam korban yang dilabeli. Hal tersebut
dikemukakan oleh psikolog sosial Universitas Persada Indonesia Idhamsyah Eka
Putra dalam simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”
di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016.
Menurut Eka,
dibandingkan stigma-stigma lain seperti “Cina atau orang cacat’, label PKI
lebih dahsyat. “Kalau sudah dilabeli PKI, maka bisa dikucilkan, dijauhi,
dilecehkan. Padahal kalau sudah dilabeli stigma, nggak ada urusannya sama
ideologi,” kata Eka. Menurut Eka, efek negatif stigma PKI dan kriminal tidak
berbeda. Untuk mengetahui dampak label PKI, Eka melakukan beberapa kali riset.
Misalnya, dia meneliti seberapa jauh efek negatif label PKI terhadap anak
sekolah dasar. Salah seorang yang dia jadikan sampel adalah murid berprestasi
yang sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. “Guru-gurunya bangga
berhasil mendidik dia,” kata Eka.
Persepsi langsung
berubah menjadi negatif setelah diinformasikan bahwa anak itu keturunan PKI.
“Efeknya luar biasa. Gurunya yang tadinya bangga bilang: ‘setelah saya tahu,
tiba-tiba rasa bangga saya drop’,” kata Eka. Dari sini kita bisa pelajari
ternyata pelabelan sebagai anak PKI, itu luar biasa sekali. “Stigma dicap anak
PKI pada saat itu lebih nista daripada anak haram jadah,” kata Witaryono,
Reksoprodjo, anak Setiadi Reksoprodjo, mantan menteri listrik dan ketenagaan
yang ditahan oleh Jenderal Soeharto. 15 menteri yang ditahan juga dilabeli
“tidak beretika dan tidak beritikad baik.”
“Pelabelan tidak
beretika dan tidak beritikad baik bagian dari narasi yang dibangun pada waktu
itu untuk menjatuhkan pemerintahan Sukarno,” kata Witaryono. Pelabelan itu,
lanjut Witaryono, tidak hanya kepada bidang profesionalnya tetapi kepada
pribadi-pribadinya. Misalnya, menteri Imam Syafii di-bully dengan
lelucon disebut menteri copet. Padahal, sejatinya Imam Syafii adalah pahlawan
yang mempertahankan Jakarta ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta dengan
mengerahkan copet dan pelacur.
Menurut Eka,
karena pelabelan PKI sangat berdampak jahat, maka pada waktu pemilihan
presiden, Jokowi pun disebut anak PKI. Namun, Jokowi selamat. Akan tetapi,
tidak dengan orang-orang yang dicap PKI pada masa lalu. “Pada pemilu lalu
Jokowi difitnah sebagai anak PKI. Ada yang memainkan isu itu. Pasti ada alasan
kenapa memainkan label PKI itu. Efeknya ingin menjatuhkan Jokowi,” kata Eka. Eka
pun membuktikan dalam penelitiannya, ketika seseorang yang memiliki berbagai
kualifikasi ideal akan dicalonkan sebagai presiden, respons masyarakat
terhadapnya pada awalnya positif. Namun, ketika masyarakat tahu calon presiden
itu merupakan keturunan PKI grafik respons yang ditunjukan pun menurun.
“Ketika orang diketahui dekat dengan PKI
nilai orang itu turun. Tapi ketika dia ditambahkan info soal kedekatannya
dengan PKI langsung drop, dari penilaian positif jadi negatif,” paparnya. Menurutnya
studi ini membuktikan, label PKI memang memberikan efek luar biasa pada siapa
pun. Bahkan anak kecil yang tidak paham sama sekali soal ideologi komunis. Namun,
ada cara untuk setidaknya meredam stigma negatif. Dalam studi berikutnya
Idamsyah pun menambahkan pemikiran kepada para responden; semua manusia pada
dasarnya baik. Hasilnya, meski kecil respons negatif dari para responden tidak
seburuk sebelumnya. “Kebanyakan orang mengamini manusia itu baik. Dalam studi
efeknya luar biasa terhadap persepsi positif. Penekanan itu bisa meredam
prasangka dan stigma,” lanjut dia.
Namun, menurut Eka, terkait dengan upaya
permintaan maaf selalu gagal. Hal ini karena kebanyakan persepsinya
mengembalikan pada apa yang korban lakukan sebelum dibunuh; efeknya lari dari
sanksi sosial. Yang kedua, ada rasa penyesalan tapi dikembalikan kembali kepada
korban semasa hidup. Ketiga, mengakui kesalahan tapi takut publik tahu.
Empat Kelompok Terkait 1965
Adapun Direktur Center for South East Asian
Studies (CSAS), Yosep Djakababa menilai saat ini diperlukan keterbukaan
pandangan untuk memahami kompleksnya masalah isu tragedi 1965. Dari tragedi itu
setidaknya ada empat kelompok masyarakat yang terbentuk. “Pertama, kelompok
masyarakat yang masih meyakini versi orde baru. Kedua, melihat ini dari sisi
pelanggaran HAM. Ketiga, kelompok yang bingung karena banyaknya info. Keempat,
kelompok yang tidak peduli,” terang Yosep. Yosep pun mengusulkan saat ini perlu
membuka kembali ingatan kolektif baru yang lebih jujur. Hal ini terkait
kepentingan bersama, yaitu mengakui adanya kekerasan politik yang menimbulkan
dampak luar biasa. “Dilakukan dengan pembelajaran secara menyeluruh dengan
fakta dan keilmuan yang valid. Sehingga diharapkan tragedi ini tak berulang,”
ucapnya.
Sumber
: https://historia.id/politik/articles/pelabelan-pki-stigmatisasi-paling-kejam-P9jzz